Pagi di akhir pekan, ditemani sebuah goreng pisang dan musik dari sebuah musisi jalanan yang sedang menyanyikan lagu tentang kehidupan para manusia yang sedang membanting tulang di pabrik pasir. Melihat dunia di pagi hari serasa melihat nyawa terakhir berhenti bernafas.
Terlalu lembut kain putih itu, yang akan menyelimuti tubuh ini. Terlalu sakit untuk kita bicara tentang siapa yang benar siapa yang salah, terlalu rumit memperdebatkan Tuhan siapa yang paling benar, terlalu gila kalau kita terus-terusan mengurusi persoalan privat manusia yang lain. Lalu, kapankah waktu kita untuk menjalankan perintah Tuhanmu, kalau semuanya sibuk mengurusi kehidupan satu sama lain. bukankah kita hanya manusia yang belum sempurna di mata Allah. Jangan mentang-mentang manusia yang paling sempurna dari semua Makhluk di dunia ini, lalu kita men-Tuhankan benda mati dan benda hidup dunia ini.
Berzdikir, beramal, berfikir untuk mati yang akan menjemput kita nanti. Malaikat Izroil hanya menunggu perintah Allah untuk mencabut setiap nafas di bumi ini. Masih ingatkah kita untuk sadar akan semua yang kita lakukan di dunia ini. Masih ingatkah kita sebagai manusia yang akan menjadi Tanah kelak nanti. Masih ingatkah kita akan Jembatan Syirotul Mustaqim yang akan kita tempuh untuk menuju Syurga-Nya Allah.
Sambil aku mendengar desiran angin di pagi itu, yang melewati selangkangan telingaku, sambil merasakan kenikmatan dinginnya angin di pagi itu. Lalu aku mengingat diriku lagi kalau aku sudah salah terhadap hidupku pada kala itu, aku salah karena tidak bersukur pada Allah-ku, aku salah karena aku tidak menjalankan perintah-perintah Allah-ku dengan baik, kesalahan terbesar dariku adalah ketika diriku tidak mengingat Tuhan-ku (ALLAH) di waktu 24 jam yang diberikan Tuhan-ku kepada diriku.
Biarkan diriku menjadi manusia yang kotor, biarkan diriku menjadi manusia bajingan dimata Manusia yang lain, biarkan aku untuk “tunduk” dihadapan Allah-ku, karena diri yang terlalu sibuk dengan duniawi ini.
“Ingatkan diriku terhadap nafas yang aku peroleh dari Tuhan-ku, untuk kematian yang menjemputku dan Tanah yang akan menemaniku”
Posting Komentar untuk "Coretan Sudut: Pagi Nafasku"